Jumat, 20 Januari 2012

jatuh cinta diam-diam

Jatuh cinta diam-diam adalah ketika kita merasakan suka sama seseorang, tapi kita enggak bisa berbuat apa-apa. Kalo kita bisa menyatakan cinta kita dan akhirnya ditolak, itu adalah pilihan dalam hidup. Paling enggak kita sudah melakukan sesuatu. Ketika hasilnya negatif, berarti memang seseorang itu bukan jodoh kita. Dan kita bisa melanjutkan hidup kita melangkah ke depan. Tapi, jatuh cinta diam-diam adalah ujian terberat dalam hidup kita. Karena kita enggak bisa maju ke depan, namun jalan di tempat pun tidak.

Gue udah pernah merasakan jatuh cinta diam-diam. Kalo enggak salah sebanyak 9 kali. Sampe akhirnya gue mendapatkan cinta yang gue nanti selama ini. Nah dari 9 kali gue merasakan cinta diam-diam ada 1 cerita yang kalo menurut gue itu cerita yang sangat menyedihkan. Kenapa? Karena gue menunggu sampe 2 tahun untuk akhirnya dapat melangkah ke depan. Dan itu pun berakhir dengan tidak bahagia.

Semuanya berawal di tahun 2001. Jaman gue masih kuliah. Sekitar bulan September. Pas angkatan baru masuk kuliah. Waktu jamannya ospek gue enggak ikutan. Gue lebih milih menikmati waktu liburan gue dengan bermain basket. Pokoknya enggak mau tau lah sama urusan kampus. Sampe akhirnya kuliah semester baru pun dimulai. Hari pertama gue masuk kuliah yang gue lakukan adalah cari tempat buat nongkrong yang bisa memantau seluruh aktifitas di kampus. Kebetulan gue dapet tempat bagus. Dan gue mulai scanning satu per satu anak-anak barunya. Kalo kata temen gue yang ikutan ngospek, angkatan 2001 enggak ada yang prospek. Tapi kan selera orang beda-beda. 3 hari pertama gue di kampus, gue enggak menemukan apa yang gue cari. Akhirnya gue memutuskan untuk kembali fokus ke basket aja. Bermain basket dengan riang gembira tanpa mengenal waktu.

Hingga suatu hari ada temen gue lagi ngobrol sama cewe. Dan gue belom pernah liat sebelom nya itu cewe. Sesekali gue perhatiin ternyata lumayan memikat hati. Padahal sebenernya cewe itu terlihat biasa aja. Tapi getar-getar cinta mulai tumbuh. Sepertinya panah asmara telah dilepaskan oleh si cupid nakal! Dan gue telah terpanah asmara. Seminggu gue gak bisa mengalihkan pandangan ini mata dari sosok cewe yang telah mencuri hati gue. Di setiap kesempatan yang ada, hal pertama yang gue lakukan adalah memandanginya sampai puas. Kalo pun nantinya kita beradu pandang, gue langsung buang muka dan berlagak enggak ada apa-apa. Mungkin itu terlihat bodoh. Tapi gue menikmati momen itu.

Sebulan telah berlalu. Waktu itu udah masuk ke bulan puasa. Kita jadi sering ketemu di mushala. Dan seperti biasa kita saling beradu pandang tanpa mengatakan apa-apa. Suatu hari abis liat dia di musahala, sambil di perjalan pulang, gue enggak bisa berhenti memikirkan dia. Sepertinya mau meledak dada gue. Ada perasaan yang menggelora. Jadi enggak bisa nafas. Kepala gue terasa menciut. Karena kurang suplai oksigen ke otak. Hahaha…mungkin terkesan berlebihan. Tapi emang kaya gitu kenyataannya.

Sorenya sambil tidur-tiduran di kamar nunggu buka puasa, pikiran gue kembali dijejali oleh sosok cewe itu. Cewe yang sampai saat itu pun gue gak tau namanya. Akhirnya gue telfon temen gue yang gue pernah liat lagi ngobrol bareng itu. Temen gue namanya Iim. Dari si Iim, gue dapet nomer telfonnya dan gue jadi tau namanya. Namanya adalah W. Abis buka dan shalat maghrib gue coba telfon. Ternyata kata yang ngangkat W udah jalan taraweh. Saat itu yang ada dalam pikiran gue adalah, sepertinya semesta tidak mengijinkan gue untuk bisa kenal sama dia. Tapi setelah gue pikir ulang, mungkin saat itu gue terlalu banyak berpikir. Mungkin aja emang pas gue telfon, emang W udah jalan taraweh. Enggak ada yang salah sama semua itu. Emang guenya aja terlalu berpikiran singkat.

Jam 9 lewat, jam dimana sepertinya orang-orang udah selesai taraweh, gue telfon lagi. Dan akhirnya gue bisa ngobrol sama dia. Awalnya semuanya berjalan lancar. Seperti yang gue inginkan. Tapi pas dia tanya gue orangnya yang mana, gue jadi gugup. Karena kalo dia tau gue yang mana, gue yakin besok-besok pasti dia enggak mau terima telfon gue lagi. Kenapa? Karena saat itu gue ngerasa diri gue bukan lah siapa-siapa. Udah 7 kali sebelumnya gue merasakan jatuh cinta diam-diam dan gue senang walaupun sebenernya berakhir dengan tidak bahagia karena mereka, cewe-cewe itu memutuskan jadian sama orang lain. Dan orang lain itu adalah orang yang gue kenal. Maka saat dia tanya gue yang mana, gue belom siap untuk menunjukan diri gue yang sebenarnya. Kenapa? Karena gue masih menikmati jatuh cinta diam-diam ini. Gue masih takut dengan kenyataan kalo sampai dia tau gue yang mana, akhirnya gue gak bisa nelfon dia lagi. Karena yaa itu tadi. Gue ngerasa gue bukan siapa-siapa. Tapi ternyata dia malah emosi. Perbincangan di telfon kita jadi enggak enak. Akhirnya dia menyudahi telfon gue.

Besoknya ketemu di kampus, dia melihat gue penuh harap. Tatapan yang mengatakan bahwa dia ingin disapa. Karena tadi malem kita abis ngobrol banyak ditelfon. Tapi gue enggak berani. Gue enggak berani menyapa dia. Bilang gue Irvan, yang tadi malem nelfon lu. Gue enggak berani melakukan semua itu. Dan gue menatap lurus ke depan. Langsung jalan melenggang. Tanpa mengatakan apa-apa. Menuju kamar mandi. Dan cuma bisa sumpah serapah di kamar mandi kampus. Tai banget!

Selama 2 tahun kehidupan gw di kampus gw cuma bisa memandangi dia aja. Dan tidak melakukan apa-apa. Mungkin tampak bodoh, tapi ya itu, sekali lagi, gw menikmati semua itu. 2 semester terakhir sebelom gw memutuskan untuk skripsi, dalam seminggu gw cuma 4 hari ada kelas. Tapi 6 hari dalam seminggu gw tetep ke kampus. Kenapa? Karena gw mau liat dia. Dia yang cuma bisa gw liat dari jauh dan menikmati kesempurnaannya.

Beberapa hari sebelom sidang skripsi, gw ketemu dia di tukang fotocopy. Dan secara gak sadar, gw negur dia dan dia pun membalas. Ternyata rasanya gitu doang. Gada yang special. Abis itu, setiap kali ngeliat dia lagi, udah gada rasa apa-apa. Biasa aja. Sebiasa gw liat semua orang di kampus. Gw juga gak tau kenapa bisa gitu. Mungkin untuk beberapa kasus dalam percintaan, ada baiknya kita hanya boleh jatuh cinta diam-diam. Karena di situlah letak kesempurnaan rasa cinta itu. Dan waktu itu, itulah yang gak gw tau. Seandainya gw tau, gw gak bakalan negur dia sampai kapan pun. Biar rasa cinta itu gak ternodai.


ilustrasinya kaya gini kali yaaa





ayo yang punya cerita jatuh cinta diam-diam di share dong

aku ingin mencintai dengan sederhana


Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.
Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”
Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.
Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.
Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.
Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.
Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.
Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.
”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.
”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.
Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.
Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.
Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.
”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.
Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.
Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.
Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.
”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.
Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?
Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?
Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.
Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.
Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.
Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan
Awan kepada air yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *

About This Blog

Hello.....